Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Pakar Menilai Tuntutan Mati Terdakwa Kasus Asabri Dinilai Tidak Tepat, Ini Alasannya

Rabu, 08 Desember 2021 | Desember 08, 2021 WIB Last Updated 2021-12-08T11:26:28Z


JAKARTA, HOTNASIONAL.COM
Pakar Hukum Pidana Korupsi dan tak lain Guru Besar Hukum Pidana Universitas Airlangga Nur Basuki Minarno menilai hukuman mati terhadap bos PT Trada Alam Minera Heru Hidayat dalam kasus korupsi Asabri tidak tepat.

Nur Basuki memaparkan bahwa jaksa tidak menuntut pasal yang mengatur hukuman mati bagi tindak pidana korupsi, di dalam surat dakwaan.

“Yang pertama alasananya karena Pasal 2 ayat (2) UU Korupsi (UU Tipikor) tidak masuk dalam surat dakwaan (dari JPU),” kata Nur kepada wartawan, Rabu (8/12/2021).

Menurut dia, JPU hanya menuntut Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor dalam surat dakwaannya. Dalam pasal tersebut, tidak ada ancaman pidana mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi.

Adapun ancaman pidana mati ada pada Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor yang tidak disertakan dalam surat dakwaan JPU terhadap Heru Hidayat.

“Apakah Pasal 2 ayat (2) itu harus dicantum di dalam surat dakwaan? Menurut pendapat saya, Pasal 2 ayat (2) harus dicatumkan dalam surat dakwaan, baru bisa menuntut untuk menuntut pidana mati. Karena di dalam Pasal 2 ayat (2), nanti JPU itu harus membuktikan bahwa korupsi dilakukan dalam keadaan tertentu," kata Nur.

Nur menjelaskan dalam penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor, keadaan tertentu itu adalah keadaan terjadi bencana alam, terjadi krisis ekonomi atau melakukan tindak pidana.

Selain itu, lanjut Nur, tindak pidana yang dilakukan oleh Heru Hidayat dalam kasus Asabri tidak masuk dalam kategori tindak pidana.

Menurut Nur, tindak pidana yang dilakukan Heru Hidayat dalam kasus Jiwasraya hampir bersamaan dengan tindak pidana dalam kasus Asabri.

“Apakah bisa dikatakan perbuatan Heru Hidayat pada kasus Asabri, itu merupakan tindak pidana yang telah dilakukan Heru Hidayat pada kasus Jiwasraya? Jadi, kalau saya perhatikan, temponya hampir bersamaan, artinya waktu kejadian perkara itu terjadi bersamaan. Hanya saja proses menuntutnya berbeda. Jadi, ini bukan merupakan tindak pidana,” ucap Nur.

Nur menyebut tindak pidana yang dilakukan Heru Hidayat dalam kasus Jiwasraya dan Asabri masuk dalam kategori konkursus realis atau meerdaadse samenloop. Artinya, seseorang melakukan tindakan kriminal sekaligus dalam waktu yang bersamaan dan masing-masing tindak pidana berdiri sendiri.

“Ini merupakan konkursus, dalam ilmu hukum namanya konkursus realis. Jadi, melakukan beberapa perbuatan pidana, yang masing-masing perbuatan itu diancam dengan pidananya sendiri-sendiri. Jadi, tidak tepat jika jaksa memberikan pemberatan kepada Heru Hidayat dengan alasan bahwa Heru Hidayat telah melakukan tindak pidana,” jelas dia.

Nur menjelaskan perbedaan antara konkurus realis dengan tindak pidana atau residive.

Menurut dia, residive jika seseorang melakukan tindak pidana lagi, dinyatakan setelah bersalah dalam tindak pidana sebelumnya, berdasarkan putusan yang berkekuatan hukum tetap.

“Kalau begini tidak pidana atau residive, dia diputus pidana, setelah diputus pidana, dia melakukan perbuatan pidana lagi. Kasusnya Heru Hidayat kan tidak, perbuatan pidananya sudah dilakukan semua, hanya menyalahgunakan waktu yang bersamaan. Jadi, antara kasus Jiwasraya dengan Asabri kan hampir bersamaan, hanya pukulannya didahulukan Jiwasraya, kemudian Jiwasraya selesai kemudian baru kasus Asabri,” papar Nur.

Sebelumnya, Jaksa penuntut umum menuntut majelis hakim menjatuhkan hukuman mati terhadap PT Trada Alam Minera Tbk (TRAM), Heru Hidayat. Seperti diketahui, Heru Hidayat dinilai terbukti terlibat dalam korupsi pengelolaan keuangan dan investasi PT Asabri (Persero) yang merugikan negara sebesar Rp22,7 triliun.

"Menyatakan jika Heru Hidayat terbukti secara sah bersalah melakukan tindak pidana korupsi dengan pemberatan secara bersama-sama dan tindak tindak pidana pencucian uang sebagaimana yang dilakukan dalam kejahatan primer dan kedua, menghukum Heru Hidayat dengan pidana mati," kata Jaksa.

Jaksa juga meminta bos PT Trada Alam Minera Tbk (TRAM) membayar uang pengganti senilai Rp12,64 triliun. Heru dinilai terbukti terlibat dalam korupsi pengelolaan keuangan dan investasi PT Asabri (Persero) yang merugikan negara Rp22,7 triliun.***

×
Berita Terbaru Update